Negara Indonesia yang kaya dengan seni budaya daerah ini terbukti dengan masing-masing daerah memiliki kesenian tersendiri (khas), seperti Benjang yakni salah satu seni budaya tradisional Jawa Barat, khususnya di Kabupaten Bandung dan ternyata di daerah lain pun ada seni budaya tradisional semacam Benjang.
Seperti di daerah Aceh disebut Gedou-gedou, daerah Tapanuli (Sumatera Utara) disebut Marsurangut, daerah Rembang disebut Atol, daerah Jawa Timur disebut Patol, daerah Banjarmasin disebut Bahempas, daerah Bugis (Sulawesi Selatan) disebut Sirroto dan daerah Jawa Barat disebut Benjang.
Benjang merupakan suatu bentuk permainan tradisional yang tergolong jenis pertunjukan rakyat. Permainan tersebut berkembang di sekitar kecamatan Ujung Berung, Cibolerang dan Cinunuk; pada mulanya kesenian ini berasal dari pondok pesantren, yaitu sejenis kesenian tradisional yang bernafaskan keagamaan (islam).
Dihubungkan dengan religi, Benjang dapat di pakai sebagai media untuk mendekatkan diri dengan sang kholik. Sebab sebelum pertunjukan, pemain Benjang selalu melaksanakan tata cara dengan membaca do'a-do'a agar dalam pertunjukan tersebut selamat tidak ada gangguan.
Ada pun alat yang digunakan dalam Benjang terdiri dari Terbang, Gendang, Pimprung, Kempring, Kempul, Kecrek, Terompet dan dilengkapi pula dengan Bedug dan lagu Sunda. Disebutkan Mahasiswa Fakultas Bisnis Manajemen Universitas Widyatama, Dhiora Bintang mengatakan Benjang telah muncul sejak abad 18.
Budaya Gulat Eropa menginspirasi kelahiran Benjang. Pada masa itu Benjang kental dengan corak Islami. "Ada tatabuhan yang berasal dari budaya Islam," kata peneliti Benjang Andang Segara. Di era kemerdekaan, Benjang jadi alat perjuangan yakni sarana terselubung latihan fisik para pejuang.
"Ujung Berung adalah basis para pahlawan di kota Bandung" kata Andang. Tak heran jika Ujung Berung sebagai kota kelahiran Benjang yang menjadi pusat para pejuang. Saat ini Benjang menjadi seni atraksi yang menarik. Menurut Andang, rangkaian pertunjukan Benjang di mulai dari Benjang Laran, Topeng dan Gelut.
Benjang Laran jadi media informasi pada masyarakat bahwa akan ada event. Dilanjutkan dengan Benjang Topeng yang penuh dengan nuansa magis. Kelakuan pemain Benjang yang menggunakan topeng di luar nalar manusia. Andang menuturkan di suatu event, pemain Benjang bak kerasukan dengan menangkap ikan di kolam.
"Pak Dada (Walikota Bandung) sampai kaget dan bilang minta di kolam saya," kata Andang dengan mimik serius. Atraksi ini ditutup oleh Benjang Gelut (Gulat). Para pemain Benjang, Bergulat beralas tanah. Tidak ada acara timbang badan, pemain seberat 70 kg pun bisa melawan 50 kg.
Para jawara desa ini di tempa karena kondisi, semisal menimba air hingga mengangkut padi. Namun tak berarti bermain Benjang tidak memiliki teknik. Teknik Benjang terdiri dari Nyentok (hentak kepala), Dangkekan (piting) dan Hapsay (ngagebot). Benjang seperti budaya lokal lain harus bisa survive menahan gempuran budaya asing.
Warga sunda sendiri kini mulai asing dengan Benjang. Tercatat ada 92 Paguyuban Benjang di Jawa Barat. "Kini Benjang tidak hanya di Ujung Berung tapi juga di Sukabumi, Garut dan Indramayu," papar Andang. Tapi Andang mengakui eksistensi Benjang redup di Ujung Berung karena kota ini jadi metropolis yang dihuni banyak warga pendatang.
Bermain Benjang terkadang di dorong rasa iseng, bermula dari mengikuti ajakan lingkungan sampai keterusan. Andang menuturkan Profesor dari Jepang pernah meneliti Benjang. "Dia pake bahasa Jepang, saya pake bahasa Indonesia" katanya sambil tertawa.
Orang dari Inggris, Korea dan Amerika juga bertandang ke Indonesia untuk mempelajari seni Benjang. Nama Benjang telah di angkut ke panggung Internasional. Utusan budaya RI pernah keliling Eropa menampilkan seni Benjang. Ketimbang bermain smackdown yang terbukti memakan korban.
Lebih bagus generasi muda bermain smackdown ala Indonesia. Ya, Benjang! main-main jadi bukan main. Menurut pendapat salah seorang sesepuh Benjang yang tinggal di desa Cibolerang Cinunuk Bandung, bahwa nama Benjang sudah dikenal oleh masyarakat sejak tahun 1820.
Tokoh Benjang yang terkenal saat itu, antara lain Haji Hayat dan Wiranta. Kemudian ia menjelaskan mengenai asal-usul Benjang adalah dari desa Ciwaru, Ujung Berung ada juga yang menyebutkan dari Cibolerang Cinunuk, ternyata kedua daerah ini sampai sekarang merupakan tempat berkumpulnya tokoh-tokoh Benjang.
Mereka berusaha mempertahankan agar Benjang tetap ada dan lestari. Tokoh Benjang saat ini yang masih ada antara lain: Adung, Adang, Ujang Rukman, Nadi, Emun dan masih ada lagi tokoh yang lainnya yang belum sempat penulis catat. Dari pondok pesantren, kesenian ini menyebar ke masyarakat.
Biasanya di masyarakat diselenggarakan dalam rangka memperingati upacara 40 hari kelahiran bayi, syukuran panen padi, maulid Nabi, upacara khitanan, perkawinan dan hiburan lainnya yang dapat pula mengiringi gerak untuk dipertontonkan yang disebut ”DOGONG”.
Dogong adalah suatu permainan saling mendorong dengan mempergunakan kayu penumbuk padi. Dari Dogong berkembang menjadi ”SEREDAN” yang mempunyai arti permainan saling mendesak tanpa alat, yang kalah kemudian dikeluarkan dari arena.
Kemudian dari Seredan berubah menjadi adu mundur, ini masih saling mendesak untuk mendesak lawan dari dalam arena permainan tanpa alat, mendorong lawan dengan pundak dan tidak diperkenankan menggunakan tangan. Karena dalam permainan ini pelanggaran sering terjadi terutama bila pemain hampir terdesak keluar arena.
Dengan seringnya pelanggaran dilakukan, maka permainan adu mundur digantikan oleh permainan adu munding. Permainan Benjang sebenarnya perkembangan dari adu munding (kerbau) yang lebih mengarah kepada permainan gulat dengan gerakan menghimpit lawan (piting).
Sedangkan pada adu munding, tidak menyerat-menyerat lawan keluar arena melainkan mendorong dengan cara membungkuk (merangkak) mendesak lawan dengan kepalanya seperti kerbau bertarung. Namun gerakan adu mundur maupun adu munding tetap menjadi gaya seseorang dalam permainan Benjang.
Permainan adu munding dengan menggunakan kepala untuk mendesak lawan, dirasakan sangat berbahaya, sekarang gaya itu jarang dipakai dalam pertunjukan Benjang. Peserta permainan Benjang sampai saat ini baru dimainkan oleh kaum laki-laki terutama remaja (bujangan), tetapi bagi orang yang berusia lanjut pun diperbolehkan asal mempunyai keberanian dan hobi.
Apabila kita membandingkan perkembangan Benjang zaman dahulu dengan sekarang pada prinsipnya tidak ada perbedaan yang begitu mencolok, hanya pertandingan Benjang zaman dahulu, apabila pemain Benjang masuk ke dalam arena biasanya suka menampilkan ibingan dengan mengenakan kain sarung sambil diiringi musik tradisional yang khas.
Kemudian setelah berhadapan dengan musuh, mereka membuka kain sarung masing-masing berikut pakaian yang ia pakai di atas panggung dan tersisa hanya celana pendek saja yang menandakan dirinya bersih (tidak membawa suatu alat) sportif.
Setelah itu, penabuh alat-alat musik Benjang dengan penuh semangat membunyikan tabuhannya dengan irama Bamplang (semacam padungdung dalam irama pencak silat), maka setelah mendengar musik dimulailah pertandingan Benjang.
Dalam pertandingan ini karena tidak ada wasit mungkin saja di antara pemain ada yang licik sehingga bisa mengakibatkan lawannya cidera. Apabila ada seorang pemain Benjang posisinya sudah berada di bawah pertandingan, seharusnya diberhentikan karena lawannya sudah menyerah.
Namun karena tidak ada yang memimpin pertandingan, akhirnya lawan di kunci sampai tidak bisa mengacungkan tangan yang berarti lawannya bermain curang, apabila pemain Benjang yang curang itu ketahuan oleh pihak yang merasa dirugikan maka akan menimbulkan keributan terutama dari penonton.
Tetapi apabila pemain Benjang itu bertanding dengan bersih dan sportif maka pihak yang kalah akan menerimanya walaupun mengalami cidera, sebab sebelumnya sudah mengetahui peraturan pertandingan Benjang, apabila salah seorang mengalami cidera tidak akan ada tuntutan.
Seorang pemain Benjang dikatakan kalah setelah berada di bawah dalam posisi terlentang, melihat tanda seperti itu wasit langsung memberhentikan pertandingan dan lawan yang terlentang tadi dinyatakan kalah. Permainan Benjang sperti dulu sudah tidak dilakukan lagi, sebab sekarang sudah ada wasit yang memimpin.
Yang melaksanakan di atas panggung memasang alas semacam matras sehingga tidak begitu membahayakan pemain ialah (tukang Benjang). Sedangkan mengenai teknik dan teori Benjang dari zaman dahulu sampai sekarang tetap sama tidak berubah, diantaranya adalah :
- Nyentok (hentak kepala).
- Ngabeulit (beulit gigir, beulit hareup, beulit bakung).
- Dobelson.
- Engkel Mati
- Angkat.
- Dengkekan.
- Hapsay (ngagebot).
- Dan lain-lain
Dalam pertunjukan Benjang di masyarakat, jumlah anggota kelompok pemain Benjang berkisar antara 20 sampai 25 orang yang terdiri dari satu orang pemimpin Benjang, 9 orang penabuh dan sisanya sebagai pemain. Inti dalam grup Benjang 15 orang yang terdiri 9 orang penabuh, 1 pemimpin, 4 pemain dan 1 wasit.
Walaupun Benjang dikatakan sepi, tetapi ada beberapa orang pemain Benjang yang mencoba terjun ke dunia olahraga Gulat dan mereka berhasil menjadi juara, diantaranya :
- Adang Hakim, tahun 1967-1988 asal desa Cinunuk.
- Abdul Gani, tahun 1969-1970 asal desa Ciporeat.
- Emun, tahun 1974-1977 asal desa Cinunuk.
- Ii, tahun 1978-1979 asal desa Cinunuk.
- Taufik Ramdani, tahun 1979-1988 asal desa Cinunuk.
- Asep Burhanudin, tahun 2000 asal desa Cinunuk.
- Tohidin, tahun 2000 asal desa Cinunuk (kategori anak-anak).
Pelatih Gulat asal Inggris, Johnny Silmon (41), beberapa tahun ini menyusuri ragam ilmu bela diri di Indonesia. Salah satunya, pria berbobot 97 kg ini terpikat olahraga tradisional asal kota Bandung yakni Benjang. "Saya senang Benjang. Saya pernah berlatih Benjang pada tahun 2004 lalu," kata Johny.
Pada waktu itu, ia berlatih dengan arahan salah satu pelatih Benjang, Ena Mulyana di kawasan Ujung Berung. Sekitar satu minggu Eka menempa Johny dengan menjejali ilmu dan teknik Benjang yang mirip Gulat ini. Beberapa kali menyambangi Indonesia, Johny memiliki misi ingin mengenal ragam seni dan budaya milik nusantara.
Ia pun ingin sekali menjajal aneka olahraga bela diri khas tanah air. "Saya juga selama ini belajar Pencak Silat," terangnya. "Topeng Benjang dalam pagelaran seni Benjang ditempatkan untuk mengisi waktu sambil menunggu persiapan pementasan Benjang Gulat (olahraga)," ungkap ketua harian Paguyuban Benjang Jawa Barat, Andang Segara.
Ia pun menyayangkan, keberadaan Topeng Benjang sedikit terabaikan sehingga di ambang kepunahan. Walaupun demikian, Paguyuban Benjang Jawa Barat akan berusaha mengembangkannya. "Sebenarnya Benjang Topeng tidak dapat dipisahkan dari pagelaran seni Benjang secara utuh.
Sama halnya dengan Benjang helaran yang fungsinya untuk mengabarkan kepada masyarakat tentang adanya pagelaran seni Benjang. Begitu pun dengan Benjang Topeng yang fungsinya sebagai pengisi waktu sebelum pertandingan Benjang Gulat," paparnya.
Andang mengaku, untuk mengembangkan dan melestarikan Topeng Benjang terganjal masalah sumber daya manusia. Menurutnya pelaku seni Topeng Benjang masih sangat sedikit dan sudah berumur. "Tentunya perlu regenerasi terlebih dahulu," katanya.
Ia pun menyatakan tak hanya Topeng Benjang yang mengalami kesulitan dalam pengembangannya, seni Benjang secara keseluruhan pun banyak mengalami kendala. Pasalnya, masih banyak pelaku seni Benjang yang masih berpikiran ortodoks.
"Mereka kalangan generasi tua, agak sulit di ajak mengembangkan seni Benjang dengan pemikiran kekinian," tambahnya. Revitalisasi perlu dilaksanakan karena seni Benjang ini jangan sampai punah atau termarjinalkan. Siapapun yang meneruskan dan mewarisinya, revitalisasi harus terus dilakukan.
Kami sendiri sangat apresiatif karena seni Benjang tetap lestari. Bahkan, menurut ketua harian Paguyuban Benjang Jawa Barat, di Ujung Berung ini berkembang 12 jenis seni Benjang. Ini merupakan aset yang sangat berharga.
Apalagi sekarang ini seni tradisi Benjang tetap mendapatkan perhatian masyarakat. Sejak kelahirannya, tidak pernah surut walaupun ada kendala. Sebab seni ini sudah mengurat akar di masyarakat dan tidak pernah tergerus jaman.
Masyarakat sendiri sangat memperhatikan dan antusias melestarikan seni tradisi ini sehingga apa pun kendala yang dihadapi dapat diatasi. Para tokoh seni tradisi Benjang masih tetap gigih mempertahankan seni tradisi ini.
Para tokoh yang kini sudah berusia tua, juga tidak pernah surut dalam melestarikan seni tradisi Benjang. Melalui regenerasi ini, pelaku-pelaku seni Benjang harus terus di pupuk dan di beri arahan sehingga seni tradisi Benjang akan lebih bisa cocok dengan kondisi masa kini yang memerlukan polesan-polesan.
(Sumber: Radar Karawang, 09 September 2012, Halaman 03.)